Setiap tahun, ada lebih dari 100 juta hiu, predator puncak dalam rantai
makanan, lenyap dari laut. Berarti, setiap hari hampir 280 ribu atau
lebih dari 11.500 hiu yang hilang per jam. Data tersebut terungkap dari
WWF Indonesia dan studi yang dipublikasikan oleh jurnal “Marine Policy”
awal tahun ini. Sebagian besar hiu tersebut ditangkap untuk dibunuh,
kemudian dijual, terutama siripnya. Padahal, sebuah ekosistem bisa punah
jika kehilangan predator puncak.
Penangkapan besar-besaran
tersebut secara tidak langsung telah berakibat punahnya beberapa jenis
hiu di dunia. Hal ini diperparah lagi dengan kenyataan bahwa hiu baru
mampu bereproduksi pada usia 15 tahun. Sedangkan siklus reproduksinya 3
tahun sekali dengan jumlah anak maksimal 10 ekor dalam sekali
reproduksi.
Mirisnya kondisi yang dialami habitat hiu ini telah
mengundang 177 negara untuk bersama-sama meningkatkan pengamanan
terhadap hiu dan sejenisnya. Semua itu tertuang dalam Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES) di Bangkok yang berakhir minggu lalu. Indonesia pun turut serta
dalam upaya menurunkan angka penangkapan hiu.
Namun, seperti
dituturkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo upaya
penanggulangan tersebut terus menemui kendala serius. Di antaranya, kata
dia, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat atas pentingnya peran hiu
dalam ekosistem, ketergantungan masyarakat secara ekonomi terhadap
penjualan sirip ikan hiu, dan aturan undang-undang yang memang belum
sepenuhnya melarang penangkapan ikan hiu.
Karena itu, kata Cicip,
perburuan ikan hiu di Indonesia masih akan terus berlanjut selama masih
ada pembeli yang menerima penjualan sirip serta longgarnya peraturan
undang-undang yang ada. “Butuh pendekatan holistik secara ekonomi
politik untuk mengatasi masalah tersebut, terutama memperkuat regulasi
dan penegakan hukum dilapangan terhadap negara penerimanya,” jelas
Sharif.
Lebih jauh Cicip menjelaskan, dalam konteks pembentukan
regulasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah menyusun peraturan
perundangan berupa Peraturan Menteri guna mengakomodir kesepakatan
Convention On International Trade In Endangered Species (CITES) yang
memasukan empat spesies hiu ke dalam daftar Appendix II CITES. "Ini
berarti kegiatan penangkapan hiu masih tetap diperbolehkan tapi dengan
pengaturan yang lebih ketat," tegas Sharif.
Untuk level
pemerintah daerah, Kabupaten Raja Ampat telah membuat Perda No. 9/2012
tentang Larangan Penangkapan Ikan Hiu, Pari Manta dan jenis-jenis Ikan
Tertentu di Perairan Laut Kabupaten Raja Ampat. Hal ini menandakan
komitmen Pemda dalam menjaga jenis ikan rawan terancam punah. "Kabupaten
Raja Ampat menjadi kabupaten pertama yang mengeluarkan perda untuk
melindungi biota laut yang terancam punah," tandas Sharif.
Selama
ini, hiu – terutama yang diburu adalah siripnya – memiliki pasar yang
sangat besar di Cina. Namun sejak pertengahan tahun lalu, pemerintah
Negeri Tirai Bambu sudah melarang penjualan sup sirip hiu. Begitu juga
dengan di Hong Kong. Negara lain yang menjadi pasar sirip hiu cukup
besar adalah Kamboja dan Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar